Penulis: Muhammad Zaldy Febry
Presiden Mahasiswa IAIN Parepare
OPINI--- Salah satu tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia keempat adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun nampaknya kata “mencerdaksan” bukanlah sebuah prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di IAIN Parepare hal ini terlihat dalam aspek prioritas pembangunan yang harusnya di prioritaskan dalam pengoptimalan sistem pendidikan, akreditasi serta pengembangan sumber daya tenaga pendidik dan mahasiswa yang ada di IAIN Parepare.
Perguruan Tinggi atau Penyelenggara Perguruan Tinggi menerima “pembayaran” yang disebut dengan UKT ditanggung oleh mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.
Tulisan ini ditulis oleh penulis atas dasar keresahan serta mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat. Makna berkeadilan ini nampaknya belum bisa dirasakan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia khususnya IAIN Parepare terlihat dalam pengajuan serta survei yang dibagikan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa institut (DEMA-I) IAIN Parepare tercatat ada 308 calon mahasiswa baru yang mengajukan keberatan terhadap penentapan UKT yang dirasa tidak adil dan memberatkan, insya allah tulisan ini akan dibuat semudah mungkin untuk di pahami dan dimengerti oleh keseluruhan pembaca.
Uang kuliah tunggal mulai diberlakukan untuk mahasiswa baru Program Sarjana tahun akademik 2013/2014 di seluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, termasuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare mulai menerapkan uang kuliah tunggal pada tahun 2013 berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 96 tahun 2013. Namun penetapan UKT yang tercantum di dalam KMA No 211 Tahun 2018 berbanding terbalik dengan penerapan uang kuliah tunggal yang harus dikelompokkan menjadi 3 kelompok namun keseluruhan mahasiswa angkatan 2018 masuk dalam kelompok 3.
Penjelasan diatas hanyalah 1 dari banyaknya misteri penerapan UKT di IAIN Parepare, namun misteri ini tidak berhenti disitu saja untuk membahas ini mari kita melihat lebih jauh lagi pada penjelasan selanjutnya.
Setelah terbitnya KMA 244 Tahun 2022 tentang penetapan UKT pada PTKIN menemui keganjalan yakni pada setiap Kelompok yang di tetapkan khususnya IAIN Parepare memiliki kesegragaman pada kelompok dan program studi sedangkan dalam rumus yang telah tertuang dalam PMA NO 7 Tahun 2018 bahwa setiap program studi memiliki pembiayaan dan kebutuhan berbeda beda yang nantinya akan termuat dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung sehingga secara singkatnya UKT disetiap program studi haruslah berbeda-beda sesuai kebutuhan Mahasiswa pada program studi.
Seperti yang kita ketahui bahwa penetapan UKT IAIN Parepare mengikuti KMA yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama RI, setidaknya narasi itu termuat dalam salah satu jawaban yang dikatakan oleh Wakil Rektor 2 IAIN Parepare pada kesempatan wawancaranya, namun hal ini nampaknya menambah kemisteriusan baru yakni menurut Kementrian Agama RI yang tertuang dalam PMA No 7 Tahun 2018 yakni pihak PTKIN lah yang melakukan pengajuan UKT yang nantinya akan dikeluarkan KMA yang dimana di dalamnya telah termuat seluruh penetapan UKT di setiap PTKIN. Pada kesempatan ini pula pihak kampus mengusulkan SSBOPT untuk menjadi acuan dasar penetapan UKT.
Perhitungan uang kuliah tunggal di IAIN Parepare mengacu pada PMA Nomor 7 tahun 2018 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri. Singkatnya SSBOPT adalah besaran biaya operasional Kampus yang akan dibayarkan oleh mahasiswa (UKT). SSBOPT ini merupakan dasar penentuan kelompok tertinggi yakni kelompok 5 jika kita melihat pada IAIN Parepare, sehingga secara sederhana SSBOPT ini merupakan batasan pada kelompok UKT, para pembaca akan merasa tercengang bahkan tidak percaya atas jawaban yang dikeluarkan oleh pihak kampus pada salah satu kesempatan saat Pihak DEMA dan SEMA I menanyakan “Apakah ada SSBOPT yang ditetapkan oleh kampus ?” dan yah jawaban yang didapatkan malah jawaban lain yang tidak menjawab sama sekali jawban kami. Apakah para pembaca sudah melihat misteri ini? Sangat disayangkan beban biaya yang telah dibayarkan oleh mahasiswa melalui hasil jerih payah orang tua Mahasiswa tidak dihitung dan tidak dirumuskan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Penulis teringat pada sebuah kalimat yang disampaikan oleh Guevera yakni ”Jika Anda bergetar dengan geram pada setiap melihat ketidakadilan, maka anda adalah kawan saya” nampaknya pengerak ketidakadilan saat ini tengah berjalan jauh dari tujuan kata “adil” dengan mendekati sebuah gelar kehormatan dan sanjungan bahwa betapa hebatnya mereka pada setiap penyelenggaraan yang mereka lakukan.
Masih teringat dengan jelas dentuman dan gauman Sumpah yang terlontar di setiap bibir dan gigi yang menggeram sehingga menggetarkan bangunan-bangunan kampus saat itu, sumpah sarapah mahasiswa nampaknya telah jatuh, bangun..bangun.. sekeras apapun kata itu nampaknya tidak berbuah baik , para penggerak nampaknya telah ditidurkan oleh kenyamanan dan telah terdistraksi meninggalkan sebuah janji yang membuat mereka dapat menginjakkan kaki diatas jabatan namun telah melupakan harapan dan jeritan saat mereka dihantarkan pada setiap suara dan pilihan saat itu , semoga “amanah”nya selalu dilindungi oleh tuhan.
“Jika ada 1000 orang yang memperjuangkan keadilan maka yakinkan dan pastikan itu adalah Aku satu diiantaranya” setidaknya kata itu yang sampai saat ini masih di pegang oleh penulis, jika itikad baik dan perjuangan tidak berbuah baik biar tuhan yang membimbingnya.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi.
LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.