Notification

×

Iklan

Iklan

Opini : Khayalan Peradaban Mahasiswa

Jul 21, 2022 | 12:23:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2024-11-23T14:10:22Z

 

   Penulis : Muhammad Fajar - Demisioner.    Presiden Mahasiswa IAIN Parepare 2021


OPINI--- Sudut-sudut kampus dihuni orang-orang yang duduk saling berdiskusi, beradu argumentasi, gagasan, hasil pemikiran, pelataran-pelataran dipenuhi forum-forum kajian, konsolidasi, atau dialog-dialog. Perpustakaan dan lapak-lapak buku yang bertebaran dikerumuni oleh orang-orang membaca buku, menulis, atau pegiat literasi. Entah untuk mencari referensi atau melampiaskan birahi atas ketidaksanggupan menghadapi ketidaktahuan. Munculnya adu buah pikiran atau saling bertukar informasi terkait histori, teori atau bahkan isu terkini. Namun hal-hal tersebut tidak lagi nampak ditengah tergerusnya peradaban intelektual dikampus.

Kampus adalah lingkungan intelektual, zona teritorial guna penjelajahan atas luasnya khazanah keilmuan. Realisasi Tridharma Perguruan Tinggi di kampus tentu masih berjalan dengan poin pendidikan yang berjalan pada proses perkuliahan didalam kelas, poin penelitian yang dibuktikan oleh tugas karya ilmiah hingga penyusunan proposal penelitian hingga skripsi untuk program sarjana, dan poin pengabdian yang dibuktikan oleh berjalannya Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) atau Kuliah Kerja Nyata (KKN). Namun, apakah cukup untuk mahasiswa yang RAKUS (Rasional, Anilitis, Kritis, Universal, dan Sistematis)?

Ditengah meningkatnya fasilitas dan bangunan-bangunan mewah dikampus malah peradaban mahasiswa diluar jam perkuliahan dan urusan administrasi lainnya justru hilang dari permukaan. Kini  kampus hanya diisi oleh ruang-ruang kontraproduktif, didominasi oleh kaum ios dan android dengan mode vertikal dan horizontal entah saling asyik menjelajahi dunia maya atau eforia game online semata. Dimasa pemanfaatan teknologi yang cepat dalam penyebaran informasi ruang intelektual malah minim peserta hingga berdampak pada semangat penyelenggara yang berkelanjutan. Lapak buku yang seolah tabu dilakukan hingga kurang menggaet mahasiswa bahkan untuk sekedar singgah dan melihat-lihat buku yang disajikan. Belum lagi banyaknya pelanggaran etika yang seolah telah dinormalisasi oleh banyak orang.

Bukan bermaksud menghardik dan menyalahkan siapapun dalam hilangnya peradaban-peradaban intelektual sekarang ini menurut hemat penulis, biarkan teoretis-analitis (penjelasan sebab-akibat) menjadi konklusi bagi masing-masing pembaca hingga menemukan prima causa (faktor utama) karena tulisan ini adalah ungkapan sinisme bagi yang berpikir negatif atau suatu hasil empiris dan bentuk perhatian bagi yang berpikir positif dan simpatik. Suatu peradaban bukan hanya diisi oleh individu, namun diisi oleh kelompok yang terdiri dari beragam jenis individu-individu yang seharusnya meyakini bahwa tingkat mahasiswa bukan sekedar ajang gaya-gayaan atau batu loncatan mendapatkan gelar demi mengisi ruang-ruang pekerjaan, lebih dari itu, mahasiswa secara historis memiliki sebab mengapa dipandang sebagai kaum intelektual, anak kandung rakyat, agen perubahan, pengontrol sosial, pelanjut estafet kepemimpinan, dsb.

Mengutip dari Paulo Freire menyebutkan ada tiga tingkat kesadaran yang harus ditempuh untuk terbebas dari penindasan. Bermula dari kesadaran magis, ke kesadaran naif, hingga ke kesadaran kritis. Dalam tahap kesadaran magis, seseorang masih merasa tak berdaya dan menganggap semuanya terberi dan diatur oleh Sang Pencipta. Sementara, saat sampai di kesadaran naif, seseorang sadar ia tertindas, namun memilih abai dan menerima kondisinya. Baru akhirnya, di kesadaran kritis, seseorang sadar ia tertindas, dan memutuskan untuk berjuang demi haknya.

Kaum intelektual sejatinya berhak atas keilmuan dan pengetahuan. Namun tertindas oleh kurangnya peradaban kampus yang seharusnya menjadi stimulus dan pengoptimalan atas penempuhan pembelajaran diruang perkuliahan yang terbatas. Keliru rasanya menyalahkan pesimis para pelaksana ruang bila minat dan antusiasme peserta bahkan kian merosot tanpa optimisme dan konsistensi mahasiswa dalam membangun peradaban intelektual secara kolektif. Sementara ruang-ruang hedon, hura-hura dan hegemoni yang jauh dari kata intelektual justru semakin diminati dan menggembosi nilai-nilai kemahasiswaan kini. Keberhasilan memaknai peradaban mahasiswa ialah munculnya kesadaran, terubahnya pola pikir dan adanya tindakan untuk mengembangkan diri, berjuang dan berinovasi. Gerakan dari kesadaran kritis ialah ketika mengetahui fenomena lantas turut berpartisipasi dalam ruang intelektual hingga mencipta sebuah peradaban, meskipun bermula dari gerakan-gerakan kecil hingga berbuah impresi besar kebanyak orang.

 Covid-19 dan Habituasi

Pandemi Covid-19 tentu bukan hal yang asing lagi untuk masyarakat sekarang. Terhitung maret 2020 seluruh instansi pendidikan memberlakukan pembelajaran daring yang massif mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tentu ini merupakan adaptasi untuk situasi baru yang perlu diatasi oleh mahasiswa angkatan 2015-2019 pada waktu itu. Tak berselang lama disusul angakatan 2020 dan 2021 yang juga bernasib sama bahkan kurang atas proyeksi peradaban kampus dikarenakan pembelajaran daring yang massif pada masa awal perkuliahan hingga redupnya aktivitas didalam kampus. Kondisi ini tentu memaksakan munculnya habituasi atau pembiasaan pada pembatasan fisik,  pembatasan pertemuan tatap muka dan pembelajaran daring demi memutus mata rantai covid-19 di situasi pandemi. 

Parahnya, terhitung sejak keluarnya kebijakan pembelajaran daring hingga pertengahan tahun 2022 dimana pembelajaran luring diperbolehkan, menggunakan masker tidak lagi diwajibkan, hingga diperbolehkannya kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak orang, justru habituasi pada rana peradaban kampus malah tetap kokoh dengan didominasi mahasiswa-mahasiswa yang tetap kecanduan sosial media dan game online terbukti dengan meningkatnya angka penggunaan sosial media semenjak covid-19 dan semakin meningkat hingga kini, dominasi mahasiswa yang kurang partisipasi, atensi, atau bahkan simpati atas peradaban intelektual kampus saat ini. Hingga kini, belum ada role model peradaban intelektual baru yang sesuai dengan situasi kini bahkan hanya minoritas yang mampu keluar dari habituasi yang disebabkan oleh covid-19 tersebut hingga berani mengisi dan mengambil peran untuk kembali merekonstruksi peradaban intelektual kampus. 


 Organisasi Mahasiswa dan Ashabiyah

Melalui di UU No.12 Tahun 2012 dilanjutkan oleh Kepdirjenpendis No.4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan tingkat PTKIN merupakan landasan yuridis atas adanya organisasi internal kampus dengan tujuan pengembangan intelektual, keahlian, minat dan bakat mahasiswa.

Teori Ashabiyah merupakan buah pemikiran sejarahwan sekaligus bapak sosiologi Ibnu Khaldun yang tertuang didalam magnum opusnya yaitu "Muqaddimah". Ibnu Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama, Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam  menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, pengertian ashabiyah  bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran.

Jatuh bangunnya suatu peradaban berbanding lurus dengan kuat-lemahnya ikatan Ashabiyah Positif dalam kelompok. Dalam ikatan kelompok besar sekampus adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar pada suatu perguruan tinggi yang sama hingga membentuk sebuah peradaban dengan aktivitas-aktivitas intelektual bersama.

Organisasi mahasiswa internal kampus tentu merupakan wujud ashabiyah atas persamaan khas (minat/bakat, fakultas, dan program studi). Secara peran ashabiyah tentu organisasi mahasiswa internal telah mampu mewujudkan hal demikian. Namun peran selanjutnya ialah mengumpulkan ashabiyah-ashabiyah kecil hingga membentuk sebuah ashabiyah yang membentuk sebuah peradaban kampus. Tentu gerakan kolektif sesama mahasiswa dengan almamater kampus yang sama sangat perlu sebagai niat pengembangan, buah pikiran, dan bentuk gerakan bersama yang tetap mempertahankan peradaban dengan pelestarian aktivitas-aktivitas intelektual yang meredup dan tereduksi dari segi substansi.

Perluasan interaksi antar sesama mahasiswa sekampus sangat perlu untuk dilakukan dengan menghilangkan dampak makna negatif terhadap ashabiyah. Meningkatkan ashabiyah dalam konteks sesama almamater kampus tentu akan memberikan dampak positif dan sokongan besar terhadap pelestarian peradaban kampus yang bernilai intelektual. Bukan hanya sesama mahasiswa yang bergelut dalam organisasi intenal, namun seluruh mahasiswa yang tergabung dalam wilayah kampus yang sama.

Sanggupkah kita (Mahasiswa sesama almamater kampus) membangun pola-pola relasi dari bentuk identitas yang sifatnya khas untuk menghadapi wacana identitas kolektif yang lebih besar? 

Sanggupkah kita beralih dari aktifitas momentum sekedar menggugurkan tanggung jawab menjadi aktivitas wajib guna merawat masa?

Dalam waktu dekat kampus dan ruang-ruang kelas akan diisi oleh mahasiswa baru angkatan 2022, pantaskah kira-kira proyeksi atas hilangnya peradaban intelektual kampus dihadapkan pada mereka? Hal ini tentu merupakan dosa sosial bersama atas ketidakmampuan masing-masing individu yang beragam melakukan gerakan kolektif dalam hal membuat peradaban intelektual baru atau merekonstruksi peradaban intelektual yang pernah ada.

Kadang kita perlu ruang berpikir dan berekspresi tanpa dibatasi oleh gap formalistic atasan-bawahan, senior-junior, guru besar-asisten ahli dan segala bentuk dikotomi lainnya namun tetap dalam naungan etika ilmiah. Merobohkan tabir eksklusif dan lebih inklusif dalam ruang dialektika. Tanpa pikiran takut salah dan berani (dalam artian bijak antara pengecut dan nekat) dalam berpikir, berpendapat dan berekspresi. Semua manusia hanya berada pada ruang dan waktu yang berbeda bukan pada kemampuan aslinya, hanya butuh waktu untuk proses menjadi dan kampus adalah laboratorium untuk pengujian atas segala bentuk pemikiran dan gagasan. Melihat realitas atas kondisi yang terjadi, mengungkap faktor utama, menentukan sikap, mengatur strategi dan taktik, lalu penentuan sikap stagnan atau berjuang.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update