Presiden Mahasiswa IAIN Parepare Ricardy 22 September 2020 |
Penulis : Presiden Mahasiswa IAIN Parepare
_Hidup Mahasiswa_
_Hidup Rakyat Indonesia_
OPINI-- Sangat disayangkan, beragam narasi kritik-aspiratif dilayangkan diruang publik malah dianulir dan dicap eksistensi-negatif. Seolah-olah yang paling benar adalah mereka yg mampu bicara soal sejarah mahasiswa, keapatisan-idealisme, yang menghafal kutipan tokoh reformis, filosofis, revolusioner. Kreativitas dan seni berspektif agak dipinggirkan. Sorotan publik ruang media jadi lontar-lantiran menyudutkan satu pihak, mendiskreditkan siapa yang berbeda kacamata sosialnya. Taukah saudara semanusia, kebijaksaan tertinggi lahir dari akumulasi perspektif-objektif dan pola terstuktur dan tersistematis, tidak dadakan dan turun demo ketika dimomen tertentu atau gerakan musiman dengan tuntutan yang irasional. Orang yang cerdas-cemerlang pada dasarnya siap-siaga menerima pandangan yang berbeda, mendengar masukan-saran membangun, tidak malah kocar-kacir mengutak-atik kebenaran yang maha luas dalam diri manusia. Pincangnya sebuah aksi Demonstrasi faktor paling sering dipinggirkan adalah mempersempit gerakan, tidak membuka selebar-lebarnya ruang gerak agar terhindar dari stigma kepentingan kelompok, lebih-lebih kepentingan dompet pribadi dan kesukuan.
Memang sejarah aktivis 66 berhasil menurunkan Rezim Orde Lama. Tinjauan sosial-ekonomi, analisis dampak dan problematika lokal-nasional-internasional lugas dan tuntas dikajinya begitu juga para sesepuh Aktivis 98 yang saya dapat waktu MABA. Tapi bila ada gerakan tanpa mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi, kecermatan menganalis dampak baik-buruk, data objektif, kemampuan menyampaikan aspirasi dengan elegan bermental serta teks dan kontektualisasi memahami kebijakan apalagi ditengah pandemi. Secara realitas bisa saja ada indikasi kepentingan kelompok, panggung eksis-identitas, menjual idealisme, koar-koar jahiliyah, menjebak massa demi kepentingan saitaniyyah, kelumpuhan akal sehat, matinya hati sosialis, buta solidaritas organisasi, itu yang diajarkan senior-senior saya diorganisasi waktu MABA.
Disisi lain perspektif, segala sesuatu berbauh gerakan, walau itu atas nama agama, kelompok warna, nepotis kesukukan, solidaritas balas dendam. Segala sesuatunya berangkat dari hal-hal yang baik dalam kecamata perspektif gerakan. Hanya saja, obkektifitas kemaslahatannya pincang diwilayah solidaritas sosial-kemahasiswaan yang beragam metode dan pola bergerak, dan lebih-lebih mis-komunikasi dan mis-ngopi dan rokok diwilayah struktural dan non-struktural. Idealisme sebuah gerakan tidak mengakar hanya pada satu pijakan dan penalaran pribadi. Tentu tidak lepas dari sikap menerima kebenaran yang berbeda yang bisa saja itu yang tepat akurat dan data objektif-administratif apalagi bicara soal sistem birokrasi yang percaya akan bukti data tertulis. Artinya objektif-lah, bijak-lah, hindari narasi melecehkan derajat manusia, jangan menggadaikan idealisme-mu hanya karena balas dendam, karena kesukuan, karena agama, karena formalitas identitas, eksistensi-personal.
Sampai kapan terus mengedepankan ego-perspektif, dan condong narasi maha-benar dari kelompoknya-lah. Mereka yang berbeda adalah penjahat birokrasi, antek-birokrasi, ketek-birokrasi, pencopet, koruptur. Entah nilai-nilai kemaslahatan gerakan seperti itukah yang menggambarkan idealisme mahasiswa dengan menjatuhkan mahasiswa yang berbeda, menjatuhkan harkat martabat, menghina jabatan yang tanpa terbukti, mendiskreditkan organisasi dan mahasiswa yang tidak berorganisasi demi mempertahankan kebenaran jahilnya, mempropaganda mahasiswa atau lebih tepatnya membodohi mahasiswa dengan dalih idealisme, dengan dalih perjuangan tapi nilai maslahat toleransi bermahasiswa diperjual-belikan. Selaku mantan MABA, saya titip pesan kepada siapa saja yang menghargai perspektif gerakan, hati-hati dengan ucapan dan narasi tidak terbukti dan jangan lupa cari pacar yang realistis-objektif.