Andi Mallarangeng Mahasiswa Manajemen Keuangan Syariah, Ketua Senat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Parepare 06 Mei 2020. |
Opini-- Menurut E.B Taylor "kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat".
"TABE" yang merupakan kearifan lokal masyarakat suku bugis dan makassar yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi.
Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya "TABE" adalah yang dikenal dengan falsafah bugis yaitu:
Sipakatau: mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga diartikan sebagai rasa kepedulian sesama.
Sipakalebbi: sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan orang dengan baik.
Budaya tabe menunjukkan bahwa yang ditabe’ki dan yang men’tabe adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.
Sipakainge: tuntunan bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.
Perlu kita refresh kembali etika yang diterapkan dan diaplikasikan orang tua terdahulu dan diajarakan kepada anak-anaknya terutama di suku bugis yaitu istilah "TABE" ini adalah adab/etika yang di terapkan orang tua terdahulu kita yang mengandung nilai-nilai yang bermakna kita harus menghormati dan menghargai orang yang lebih dewasa atau lebih tua dari kita, namun di era milenial ini "TABE" sudah jarang ditemui di kalangan masyarakat bahkan hampir tidak ditemukan sama sekali.
Cara mengaplikasikan atau penerapan "TABE" dengan gerakan tubuh kita nunduk sedikit dengan tangan kanan yang kita lurusakan ke bawah jikalau bertemu orang duduk dan kita lewat di depannya, perlu diketahui bahwa adab/etika dari saat anak-anak sudah diajarkan oleh orang tua kita tetapi kita masih lalai akan hal ini, sebagai suatu bentuk kesopanan dan saling menghormati. Namun,
sebagian masyarakat tidak mengetahui makna yang terkandung di dalam budaya "TABE" yaitu diartikan sebagai adat kesopanan, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia dalam hal berinteraksi atau kontak langsung sesama manusia, mungkin di kalangan kita di era milenial ini sudah kesurupan akan teknologi terutama sosial media.
Kalau bukan dari kita (masyarakat suku bugis milenial) siapa lagi yang akan meneruskan budaya ini? Lucu rasanya ketika seorang pemuda-pemudi suatu daerah justru lebih paham budaya luar untuk dikonsumsi dibandingkan budaya sendiri yang jelas merupakan kekayaan budaya sendiri yang tidak patut dilupakan.
Mengenal budaya luar boleh, tapi tetap pelihara dan junjung tinggi budaya sendiri agar tidak bias dalam identifikasi diri.
Semestinya sebagai masyarakat yang cinta akan budaya leluhur dan menjunjung tinggi nilai siri', budaya "TABE" tidak bisa lepas dari kepribadian masyarakat suku bugis dan makassar.
tentunya budaya "TABE'' bukanlah budaya yang akan tergerus oleh zaman, karena pengimplementasiannya akan menjadi dasar kesopanan dan identitas sebagai masyarakat suku Bugis dan Makassar.
Semoga kita bisa mengajarkan kepada sahabat-sahabat kita dan saling mengingatkan kepada semua kalangan akan pentingnya adab/etika.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi.
LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.