Muhammad Andri Alvian Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam |
Penulis : Muhammad Andri Alvian
Opini-- Pada hakikatnya “Social Distancing” dan “Physical Distancing” merupakan opsi yang sama yang diterapkan oleh Bangsa Indonesia atas saran WHO (World Health Organization) dalam penanganan COVID-19. WHO (World Health Organization) telah mengganti istilah social distancing menjadi Physical Distancing, yang menurutnya terbukti lebih efektif mengatasi penyebaran Virus Corona COVID-19. Namun secara istilah kedua opsi tersebut memiliki makna yang berbeda walaupun memiliki fungsi yang sama. Menurut Suara.com “Social Distancing” adalah mengurangi aktivitas sosial berupa keluar rumah dan interaksi dengan orang lain dan menghindari keramaian. Sedangkan “Physical Distancing” adalah menjaga jarak dengan orang lain dengan standart 1 meter. Kedua opsi tersebut telah diterapkan di Indonesia mulai dari awal maret hingga sekarang, namun secara faktanya belum mampu menekan statisitik angka penyebaran virus corona covid 19 yang semakin meningkat tiap harinya.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 31 Maret 2020 merincikan jumlah orang yang positif corona sebesar 1.528, korban meninggal 136 orang, dan yang sembuh 81 orang. Sebuah statistik yang sangat mengkhawatirkan karena kasus pertama positif corona dinyatakan tanggal 2 Maret 2020 dengan kasus positif yakni 2 orang, dengan kata lain hanya dibutuhkan 29 hari untuk Corona dapat menuyebar luas dengan ratarata 100/hari orang positif corona. Sementara pemeritah sudah dari awal cenderung menanggapi corona dengan kurangnya persiapan.
Terlihat dengan sedikitnya stock, masker, APD (alat pelindung diri), obat-obatan, serta penuh dengan dengan guyonan kelakar sehingga terkesan meremehkan. Indonesia seakan bersikukuh ingin tetap mempertahankan Opsi Physical Distancing tanpa ada efek yang signifikan apapun.
Dengan situasi sekarang, Pemerintah seakan dihadapkan dengan 2 pilihan yakni mempertahankan ekonomi Indonesia atau melindungi tumpah darah Indoneisa. Sudah seharusnya Indonesia mengambil pilihan ke 2 sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 dengan menerima apapun konsekuensinya. “Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia” – Nana (Presiden Republik Ghana).
Sudah seharusnya Indonesia mengambil langkah yang tegas untuk mempertimbangkan opsi lain guna menekan penyebaran virus corona COVID-19 di Indonesia. Dengan prinsip itu penerapan Social distancing maupun Physical distancing yang pada tujuannya menjaga ekonomi dan menekan penyebaran virus tidak berjalan dengan baik, karena menurut Bank Indonesia (BI) pada minggu ke-3 bulan Maret Rupiah jatuh dan berada pada posisi Rp.17.000/USD dan tidak ada tanda-tanda statistik kasus corona menurun.
Secara Implisit konsitusi kita pada dasarnya telah mengatur mengenai kekarantinaan dalam UU No 6 tahun 2019 tentang kekarantinaan kesehatan. Pada BAB 1 pasal 1 menyatakan bahwa: :
“ Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakitnya dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berptensi menimbukan kedaruratan kesehatan masyarakat.” dan “Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undagan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi atau pemisahan peti kemas.”
Sudah seharusnya Lockdown menjadi opsi untuk menekan penyebaran virus corona COVID-19 di Indonesia. Lockdwon adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun keluar dari suatu daerah maupun Negara. Opsi Lockdown di Indonesia sebetulnya sudah banyak disuarakandari awal. Baik dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Pemerintah Daerah, politisi, penggiat seni, influenser, bahkan oleh masyarakat biasa Namun masalahnya kewenangan lockdown ini ada pada pemerintah pusat Sehingga harus pemerintah pusatlah yang memutuskan
Alasan Maju mundur dan menjadi perdebatannya opsi lockdown ini, utamanya karena pertimbangan ekonomi dan menghindari kepanikan pasar. Dimana pemerintah pusat bermaksud mengedepankan penyelamatan ekonomi nasional, Sekaligus mempertimbangkan keberlangsungan uk dan menengah yang banyak diantaranya hanya bisa menghasilkan uang apabila mereka beraktifitas secara normal.
Solusi standar, seperti social distancing dan meniadakan keramaian itu masih kurang dan terbukti tidak berjalan dengan maksimal. Sebuah cara menenangkan yang kurang tepat, karena banyak diantara kita pun jadi ikut terbawa menanggapi isu corona dengan guyonan dan kurang waspada pada awalnya. Namun pemerintah harus sadar. Bahwa kita semua kini berpacu dengan waktu, semuanya semakin memburuk. Kini Rp jatuh tak terkendali bahkan ke titik yang sangat rendah dan jurus corona semakin luas penyebarannya. Kepanikan justru semakin kita rasa dan belum ada tanda-tanda akan reda, sehingga memilih opsi lockdown sudah tidak bisa tunda lagi. Selagi masih ada harapan untuk bisa dikendalikan Negara lain juga mensubsidi rakyatnya dan mengalami kerugian ekonomi yang besar ketika memilkih opsi lockdown. Namun setidaknya penyebaran virus ini bisa ditekan untuk kemudian bisa diatasi secara bertahap.
Percayalah kepercayaan pasar dan investor bertahap akan negeri ini dapatkan kembali Seiring dengan aksi-aksi penanganan yang tepat dan terukur dari pemerintah kita. Jangan sampai kita seperti Italia yang cenderung santai, meremehkan,dan terfokus pada penyelamatan pariwisata hingga akhirnya terlambat mengambil aksi lockdown. Apa yang sekarang terjadi? Pariwisata berantakan, ratusan orang perhari meninggal karena virus corona menjadi semakin tak terkendali. Jangan sampai itu terjadi di negeri kita tercinta. Belum terlambat untuk mengambil opsi yang lain sesuai amanat konstitusi No.6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kami semua menghormatimu, sebagai pengambil kebijakan tertinggidi negeri ini, Namun juga berharap kebijakan yang terbaik untuk bangsa ini.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi.
LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.