Umaima Alwi S,Sy,. M.EI Salah satu dosen IAIN Parepare |
Penulis : Umaima Alwi S,Sy,. M.EI
OPINI-- Setiap manusia terlahir istimewa. Semua membawa kode unik masing-masing dari Tuhan. Tak terkecuali perempuan. Meski paham misogini kini tak terbendung mengikuti alur pikir kaum laki-laki yang menuliskan sejarah peradaban, namun kita patut bersyukur di setiap dekade melahirkan perempuan-perempuan yang dapat kita pelajari perjuangannya meski dengan referensi yang sangat minim.
Perempuan pertama yang ingin saya sebutkan adalah Ibunda Khadijah. Beliau juga adalah perempuan number wahid di hati Rasulullah saw. Apa kalian pernah mendapatkan referensi bahwa yang dikerjakan Ibunda Khadijah adalah pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga semata? Tentu tidak. Sebelum mendampingi Nabi di rumah maupun dalam jalan dakwah, Khadijah adalah seorang miliarder yang cerdas dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dalam kitab Al-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa barang dagangan Khadijah dalam sekali ekspor itu sama nilainya dengan barang dagangan seluruh pengusaha di Makkah pada masa itu.
Selanjutnya, membahas Aisyah binti Abu Bakar adalah hal yang cukup menarik lantaran beberapa saat lalu dunia sosial media digegerkan dengan lagu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah” yang dinyanyikan Anisa Rahman. Berbagai respon muncul. Ada kelompok yang menyayangkan isi lagu tersebut hanya bercerita tentang romantisme rumah tangga Aisyah dan Rasulullah saw. Ada pula yang tidak mempersoalkannya. Tidak ada yang salah menurut mereka. Toh yang disebutkan dalam syair memang sudah sesuai dengan apa yang diberitakan hadis. Ada pula yang merespon dengan membuat karya lain yang serupa. Bebas. Sekarang kita memang hidup di zaman yang
memberikan kemerdekaan berekspresi bagi siapapun. Pembahasan ini hanya ingin menambahkan, bahwa selain romantisme, memang ada hal yang jauh lebih besar yang mestinya menjadi pelajaran. Hal yang diwariskan Aisyah, Ummul Mukminiin kepada kita, perempuan-perempuan umat Nabi Muhammad saw. Bahwa salah satu yang menjadikan perempuan menjadi istimewa itu adalah kecerdasannya. Hisyam bin Urwah menceritakan dari ayahnya, “Aku pernah bertemu dengan Aisyah dan sungguh aku tidak mendapatkan seorang pun yang lebih pandai daripada dia tentang Al-Qur’an, paling banyak meriwayatkan hadis, sya’ir, sejarah Arab, ilmu nasab, ilmu qadhi, dan kedokteran.”
Tulisan ini tentunya tidak akan menceritakan semua kisah hidup perempuan pejuang yang cerdas secara menyeluruh. Poin yang perlu dibahas adalah mengapa perempuan harus berjuang dan apa sebenarnya yang diperjuangkannya. Perempuan harus berjuang karena diakui atau tidak, sejak dulu telah terjadi dehumansasi terhadap kaum perempuan. Simone de Beauvoir menyebutnya dengan istilah “The second Sex” (Le Deuxieme Sexe). Bahkan kondisi tersebut sebenarnya masih dapat kita saksikan pada masyarakat yang masih belum memiliki sensitifitas gender. Gerakan yang timbul dari kesadaran adanya ketimpangan gender yang dialami perempuan mulai terlihat dalam karya tulis perempuan pada akhir abad 19. Di antara mereka adalah Fatima Mernissi, Aisyah Taimuriyah, Huda Sya’rawi, Rokeya Skhawat Hossain, Emile Ruete, Taj as-Salthanah, Fatme Aliye, Kartini, dll.
Fenomena ketidakadilan gender ini disebut The Problem Has No Name oleh Betty Friedan. Dalam tesisnya ia mengemukakan bahwa sebenarnya yang membuat perempuan dipinggirkan, faktor utamanya adalah perempuan itu sendiri. Yang Friedan serang sebagai seorang feminis bukanlah laki-laki, tapi perempuan-perempuan yang menurutnya tidak sadar. Perempuan-perempuan yang tidak sadar tersebut pada umumnya hanya mendambakan kasih sayang (heart), rumah tangga yang utuh (home), dan pendamping yang baik (husband). Friedan mengkritisi pernyataan bahwa perempuan memiliki nilai yang tinggi adalah perempuan yang sanggup memenuhi atau mewujudkan ketiga hal tersebut. Padahal yang membedakan perempuan dan laki-laki hanya pada persoalan sexual biologis semata, bukan pada persoalan gender.
Di sisi lain, para feminis muslim seperti Ashgar Ali Engineer, Riffat Hassan dan Amina Wadud Muhsin mengkaji feminisme melalui alur historisitas ajaran Islam. Dalam pandangan mereka, Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia. Sama-sama makhluq yang diciptakan oleh Khaliq. Dalam ilmu tasawuf, ruh bahkan disebutkan tidak memiliki jenis kelamin.
Hal ini diperkuat dengan yang sejarah yang mencatat sekian peristiwa yang menunjukkan gugatan wanita Islam di masa Rasulullah saw. Seperti yang diriwayatkan bahwa beberapa perempuan pernah datang kepada Rasulullah mengajukan tuntutannya, “Ya, Rasulullah mengapa hanya laki-laki saja yang disebut al-Qur‟an dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut?” Allah swt kemudian menurunkan QS. Al-Ahzab ayat 53 sebagai jawaban dari gugatan mereka.
Memang tidak mudah untuk melawan arus. Apalagi fasilitas kebudayaan dan kekuasaan sejak dulu sampai kini hampir semuanya dimiliki oleh laki-laki. Namun perempuan harus berjuang. Minimal menyadari eksistensi diri dan kepemilikan terhadap kesempatan dan peluang yang sama dengan laki-laki. Apa yang diperjuangkan “Ibu Kita” Kartini di masa lalu dalam melawan patriarki, feodalisme sekaligus kolonialisme mungkin tidak sinkron lagi dengan kondisi yang ada saat ini. Namun Kartini banyak memberikan pelajaran dan tugas kita untuk menjadikannya ibrah. Bahwasanya untuk melawan tidak perlu frontal. “Jadilah cerdas agar tidak tertindas”, pesan ibu Fatima Mernissi.
Bersambung ke Part II