Rusdianto Sudirman, S.H,M.H Dosen IAIN Parepare 04 April 2020 |
Penulis : Rusdianto Sudirman, S.H,M.H
OPINI -- Kuliah online kini menjadi solusi untuk mendukung pembatasan sosial (social distancing) guna mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan perguruan tinggi.
Sejak dikeluarkannya surat edaran terkait perkuliahan online, hampir semua perguruan tinggi baik negeri maupun swasta mulai aktif melaksanakan perkuliahan sistem daring tersebut, ada dua sistem perkuliahan online yang dilakukan. Keduanya adalah memakai sistem E-Learning yang disiapkan Kampus dan Metode Kuliah menggunakan aplikasi Zoom Claud, Hangout Meeting, Google Classroom, ataupun melalui WAG (WhatsApp Group).
Beragam tanggapan muncul dari para mahasiswa terkait perkuliahan sistem online. Ada yang mengatakan dirinya merasa biasa saja dengan perkuliahan online. Namun, ada juga yang merasa menderita karena Ketidaktersediaan kuota internet atau sulitnya jaringan internet, karena mereka harus mengakses internet dari rumah, apalagi bagi mereka yang tinggal di pelosok kampung atau desa yang terpencil.
Meskipun begitu sebagai dosen tentu kita berharap agar mahasiswa menyesuaikan diri di era digital yang semakin canggih yaitu revolusi industri 4.0. Kuliah online merupakan sebuah keniscayaan di era digital. Ketika mahasiswa dan dunia kampus hanya berpacu dengan hal-hal lama yang itu-itu saja, akan tertinggal dari negara lain maupun kampus-kampus lain yang sudah menerapkannya lebih dulu.
Sementara itu, jika kita amati beberapa keluhan mahasiswa di beberapa WAG, Kuliah sistem online sebenarnya monopoli kelas menengah terhadap kelas bawah. Kalau mahasiswa tidak punya paket data dan tidak mampu beli pulsa, dari mana biaya buat beli pulsa? Orang tua mereka tidak kerja karena harus di rumah saja terlebih jika berasal dari desa terpencil
1 semester dengan 6 sampai 7 mata kuliah dan semuanya online, maka rata-rata perkuliahan 1 hingga 2 jam. Butuh berapa jam dalam seminggu? Karena itu, sebagai dosen saya harus peka dengan tidak terlalu membebani tugas yang mau tidak mau mereka harus buka internet lagi.
Harus juga di pikirkan beban psikologis dan kemampuan ekonomi mereka, dan saya pun tak yakin jika tugas 10 sampai 15 lembar dengan 30 mahasiswa akan dibaca semua di depan laptop. Hal ini saya ungkap namun tidak mengeneralisir pada profesi dosennya maka scara pribadi saya bilang belum tentu.
Ada yg mengajar 3 sampai 5 kelas, jumlah mahasiswa 30 perkelas, rata rata tugas makalah 10 sampai 15 halaman, saya secara pribadi tidak bisa bayangkan untuk semuanya dibaca di depan laptop. secara pribadi saya tidak sanggup, makanya tak membebani.
Jangankan tugas lewat email, dalam bentuk makalah di print menumpuk di meja belum tentu semua bisa di baca . Jadi, tugas itu hanya sekedar menggugurkan kewajiban mahasiswa. Tapi tentu tidak semua begitu, tergantung kemampuan setiap dosen.
Saya pribadi ,Cukup share materi di WAG atau Di Google Classroom kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab, dan tidak terbatas pada jadwal perkuliahan tetapi setiap saat ketika ada waktu luang baru di berikan tanggapan ataupun pertanyaan yang di ajukan masing-masing mahasiswa.
Salah satu rekan sejawat pernah
Sampaikan, kenapa tidak pakai zoom atau hangout meeting? saya jawab kuota akan cepat habis. Apalagi pakai zoom dan Teleconfrence itu buat yang malas menulis, mahasiswa sudah terbiasa dengat chat. Jadi saya pakai forum di google classroom dan WAG yang murah meriah.
Sekarang saatnya kita saling memaklumi bukan berarti menganggap enteng tapi tetap memberikan yang terbaik. Semoga wabah covid 19 ini segera berakhir agar civitas akademika kembali normal.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi.
LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.