Notification

×

Iklan

Iklan

OPINI : Social Distancing, Stay at Home dan Tahanan Rumah (Paradigma Moralitas Sosial dan Yuridis Normatif)

Mar 25, 2020 | 12:08:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2024-11-24T04:11:33Z
Agus Muchsin Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam

Oleh: Agus Muchsin

OPINI--Di saat sedang gencarnya sosialisasi himbauan pemutusan mata rantai virus covid 19 melalui social distance,  terdapat banyak keluarga yang secara sadar untuk tinggal di rumah,  bukan untuk kepentingan rumpun keluarganya sendiri tapi juga buat sejumlah keluarga lain.

Stay at home memang berat untuk ukuran makhluk berinisial manusia, karena karakter hidupnya memiliki ketergantungan terhadap individu selain dirinya.  Sosiolog menyebutnya zoon politicon atau makhluk sosial yang kebutuhannya kadang terpenuhi jika ada interaksi dengan orang lain. Karakter ketergantungan ini pun disebutkan di dalam QS.  al Alaq: 3 خلق الانسان من علق
Terjemahnya.
Dialah Allah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Terma al 'alaq diterjemahkan gumpalan darah dalam kamus bahasa arab berasal dari fi'il (kata kerja) 'aliqa-ya'liqu (يعلق - علق) artinya menyangkut, melekat, bergantung pada, berpegang pada. Sehingga al alaq merupakan gumpalan darah yang bergantung pada dinding rahim.  Namun ketika dikaitkan dengan karakternya maka manusia memang memiliki ketergantungan sosial.

Social distance sebagai langkah preventif jika dikaji dalam teori sosiologi, memang di luar dari naluri kemanusiaan, namun karena alasan mempertahankan hidup maka alternatif ini cukup epektif. Bagi Islam hidup merupakan sifat Allah swt sebaga maha hidup (al hay) maka mencintai kehidupan sama halnya mengingatkan pada dzat pemberi hidup. Sederhananya sikap ini menjadi gambaran moralitas sosial universal, selama ini dideklarasikan sebagai hak azasi.

Kepatuhan untuk stay at home dalam konteks sekarang ini dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan moral, meski di sisi lain ada yang memaknainya sebagai pemaksaan dengan instrumen kebijakan melalui himbauan Pemerintah dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Persepsi ini sepertinya tergiring pada paradigma kasus tahanan rumah, pembatasan ruang gerak, dan larangan berkumpul hingga pembubaran paksa. Konteks pemahaman ini sebenarnya tidak boleh digiring pada persepsi atas pamberlakuan sanksi terhadap presiden pertama di Indonesia Soekarno, karena esensi dan tujua kebijakannya berbeda.

Sanksi ini memang di anulir dalam sistem hukum positif, bahkan dapat diterapkan pada kasus kriminal biasa sebagai bentuk represi jika dikehendaki. Eksekusi tahanan rumah menjadi tindakan alternatif oleh pihak berwenang untuk membatasi ruang gerak bagi subyek hukum yang terbukti melakukan pelanggaran.

Meski demikia,  selama ini secara umum penerapan sanksi atas delik, hanya dikenal penahanan di Rumah Tahanan Negara (rutan).  Hal ini wajar karena histori dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR), hukum acara peninggalan Belanda, hanya mengenal tahanan di Rutan.

Evolusi hukum pun terus terjadi beriringan dengan gerakan revolusi politik dI indonesia hingga tercatat eksekusi hukuman dalam bentuk seperti itu. Kebijakan putusan ini pun berbuntut pada kekuatan yurispruidensi atas tahanan rumah, bahkan menjadi inspirasi dilegislasikannya Pasal 22 ayat (1) KUHAP yang memperkenalkan tiga jenis tahanan yaitu, tahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan), tahanan rumah, dan tahanan kota.

Jika esensi dari tahanan rumah adalah "keterisolasian",  maka dalam Jinayah Islamiyah (Hukum Pidana Islam) memperkenalkan satu alternatif pemberian sanksi seperti dalam QS. al Maidah: 33

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Terjemahnya.
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.

Penjelasan terhadap ayat ini oleh Imam Ibn katsir bahwa ayat ini merupakan rentetan alternatif sanksi secara hierarki diberikan pada tindak pidana pemberontak dan pelaku makar.
المحاربة : هي المضادة والمخالفة ، وهي صادقة على الكفر ، وعلى قطع الطريق وإخافة السبيل ، وكذا الإفساد في الأرض يطلق على أنواع من الشر ،

Artinya.
Pemberontak (al muharibah) adalah orang yang menentang dan melawan pemerintahan Islam,  bekerja sama dengan orang kafir, merampok di jalan, menteror di jalan.  Demikian juga melakukan aksi pengrusakan atas macam-macam bentuk kejahatan.

Tanpa mengabaikan sanksi lain yang disebutkan,  yang menarik untuk dikaji adalah potongan ayat او ينفوا من الارض terjemahnya,  atau diasingkan dari tempat kediamannya. Tujuan dari penerapan sanksi ini adalah mengisolir pada satu tempat untuk memutus komunikasi dan interaksi dengan pemerintahan Islam.

Dengan demikian keterisolasian melalui sosial distance,  dalam bentuk stay at home perlu disikapi sebagai sebuah gerakan masif oleh pemerintah, dilakukan atas dasar mempertahankan hidup, bukan sebagai sanksi tahanan rumah atau tahanan kota dengan kekuatan supremasi berdaya paksa.
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update