Kelahiran Pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan. Tidak seperti di belahan dunia lain, Pers di Indonesia lahir dengan semangat menentang penindasan dan pembelaan rakyat. Tirto Adi Soerjo, sang pelopor jurnalistik di Indonesia, menerbitkan Medan Prijaji dengan membahas kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin, membedah peraturan hukum Hindia Belanda sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat dan dibodohi, hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat (dimana tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata). Sementara itu Pers mahasiswa yang lahir bertahun-tahun setelah itu, membawa sebuah semangat anti penindasan kolonialis dan menyeru perjuangan demi kemerdekaan.
SEJARAH PERS MAHASISWA
Pers Mahasiswa pada Rezim Kolonial Hindia Belanda (1908-1941)
Pers Mahasiswa, bila kita definisikan secara luas sebagai sekompok mahasiswa yang melakukan praktek jurnalistik, sudah hadir puluhan tahun sebelum universitas di Indonesia berdiri.Ini disebabkan hingga tahun 1920an belum ada perguruan tinggi yang didirikan rezim kolonial Hindia Belanda. Mereka yang kemudian dikirim berkuliah di Belanda adalah segelintir kalangan pemuda terkena politik etis adalah golongan pribumi kaya saja. Dari segelintir kalangan itulah kemudian berkumpullah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kesadaran perjuangan dan mendirikan organisasi sosial Indische Vereniging pada tahun 1908 dimana organisasi ini kemudian berkembang menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).
PI ini sedari awal menyerukan persatuan dengan dasar nasionalisme untuk mengusir cengkraman kolonialisme di Indonesia. Tuntutannya yang dimuat di terbitannya yaitu majalaj Hindia Poetra, bergerak dinamis mulai dari kritiknya terhadap Volksraad (parlemen yang dibuat Hindia Belanda) agar sepenuhnya diubah menjadi parlemen rakyat secara penuh (bukan hanya penasehat birokrat), kritik terhadap sewa tanah industri gula di Hindia Belanda yang menindas kaum tani, sampai berubahnya Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka yang membedah secara detil pertanyaan-pertanyaan kemerdekaan. Indonesia Merdeka juga termasuk salah satu media yang pertama kali menyeru agar semua wilayah bekas jajahan Hindia Belanda dengan mendirikan nasion yang merdeka di bawah nama Indonesia.
Hal demikian bisa dilihat buktinya secara khusus dalam salah satu edisi Indonesia Merdeka yang memuat Manifesto 1925. Manifesto 1925 ini menyatakan bahwa (1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun dan; (3) Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sukar dicapai.[1] Karena ketegasan sikapnya di tengah rezim kolonialisme Hindia Belanda yang masih tegak berdiri saat itu maka majalah Indonesia Merdeka itu pun terpaksa ditulis tanpa mencantumkan nama-nama asli dan disebarkan secara sembunyi-sembunyi, baik di Belanda maupun hingga sampai ke tanah air karena rezim kolonial saat itu sudah membentuk divisi khusus dalam kepolisian dengan nama Politiek Inlichtingen Dienst yang bertugas melakukan investigasi terkait kejahatan politik.[2]
Selain itu secara organisasional, sejak awal PI tidak mengenal eksklusifitas dalam berorganisasi dan berjuang. Ini terbukti dari kerjasama PI dengan organisasi-organisasi lain seperti organisasi perjuangan internasional antara lain Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, Komintern, dan sebagainya. Bahkan tokoh PI yang terkemuka yaitu Moh. Hatta menyampaikan orasinya menuntut kemerdekaan Indonesia pada agustus 1926 di Prancis pada kongres keenam Liga Demokratik Internasional untuk Pedamaian. Selain Mohammad Hatta banyak tokoh PI yang berperan besar tidak hanya dalam pergerakan namun juga di hari-hari awal republik. Mereka diantaranya adalah Sutan Sjahrir, Sutomo, dan Ali Sastroamidjojo.
Selain di Belanda, di tanah air juga mulai bermunculan organisasi-organisasi pemuda-pelajar-mahasiswa yang berbentuk kelompok studi. Dari kelompok studi ini ada dua kelompok yang terkemuka. Pertama, Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia, kelompok studi yang dibentuk 23 Oktober 1924 di Surabaya oleh Soepomo dan kawan-kawan mahasiswa yang telah menyelesaikan studi di Belanda dan kembali ke tanah air. Kedua, Algemene Studie Club atau Kelompok Studi Umum yang digagas 11 Juli 1925 oleh pemuda-mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.[3] Meskipun secara redaksional kedua organisasi tersebut hanya memakai nama Club atau kelompok namun mereka memiliki program perjuangan yang nyata dan progresif. Pertama, kelompok studi Mempelajari kondisi dan problem-problem konkret yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota Gementeraad(Dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dan lain-lain. Kedua, kelompok studi membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh Ra’jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia.Ketiga, kelompok studi mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata. Keempat, kelompok studi menyelenggarakan forum-forum yang ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya bersifat terbuka dan diadakan di gedung-gedung pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas. Bahkan pada tahun 1925 dimana terjadi pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya, kelompok studi ini memberikan dukungannya.[4]
Kemunculan dua kelompok studi ini berhasil mendorong perkembangan pergerakan pemuda. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya organisasi pemuda-mahasiswa yang didirikan. Baik sebagai sayap pemuda dari organisasi massa/partai yang ada maupun sebagai organisasi sendiri. Meskipun memiliki latar belakang ras, agama, dan pandangan politik yang berbeda-beda, organisasi-organisasi tersebut sering mengadakan kontak dan pendiskusian satu sama lain. Sebagai hasil perkembangannya muncullah gagasan untuk merintis persatuan antar organisasi pemuda-mahasiswa tersebut. Gagasan maju ini dikemukan secara organisasional oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPI). PPI yang menggalang berbagai organisasi pemuda berhasil menyelenggarakan Kongres Pemoeda I di tahun 1926 untuk menjalin persatuan bangsa Indonesia dan memupus sentimen provinsialisme bahkan menyelenggarakan Kongres Pemoeda II di tahun 1928 yang mengikrarkan Soempah Pemoeda.[5]
Represi Rezim Kolonial Hindia Belanda terhadap Pergerakan Pemuda-Pelajar-Mahasiswa
Berselang dua tahun kemudian terjadilah peleburan organisasi-organisasi pemuda-mahasiswa tersebut menjadi satu organisasi pemuda nasional bernama Indonesia Moeda (IM). IM ini memiliki massa luas karena tak hanya terdiri dari pelajar dan mahasiswa saja namun juga menggalang pemuda secara luas. Melihat perkembangan pergerakan pemuda khususnya pergerakan IM yang gencar mengobarkan propaganda anti-kolonialisme, rezim kolonial mulai mengambil tindakan represif terutama pada IM cabang Surabaya yang dikenal lebih militan daripada cabang-cabang lainnya. Tindakan itu berwujud berupa perintah agar kepala sekolah kepala sekolah menengah menjatuhkan Schoolverbood atau mengeluarkan pemuda-pemuda yang terbukti bergabung dengan IM. Persatuan IM akhirnya kemudian pecah akibat persengketaan apakah gerakan pemuda harus bersikap lunak hati-hati ataukah bertindak radikal-militan. Sayap radikal-militan kemudian memutuskan keluar dan mendirikan Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revoloesioner (Perpiri). Sayangnya karena keradikalannya, kedua organisasi ini kemudian juga harus tiarap berhubung rezim kolonial Hindia Belanda semakin represif pasca pemberontakan bersenjata 1926-1927 yang diprakarsai kelompok Prambanan dari PKI.[6] Sementara itu kelompok studi umum yang berubah menjadi Partai Nasional Indonesia di tahun1927, karena tetap menjalankan praktek dan propaganda anti kolonialisme, maka Soekarno dan pimpinan-pimpinan lainnyanya ditangkap pada 1929, serta PNI akhirnya dibubarkan di tahun 1931 oleh rezim kolonial Hindia Belanda.[7]
Pers Mahasiswa di Rezim Kolonial Fasis Jepang (1942-1945)
Fasisme muncul dengan tiga kekuatan besarnya yaitu Jerman, Italia, dan Jepang. Kontradiksi yang muncul antar imperialis dengan blok sekutu di satu pihak dan blok fasis di phak lain, berujung pada meledaknya PD II. Perang ini pada dasarnya adalah perang Imperialis karena perebutan wilayah dan daerah jajahan antara satu imperialis dengan imperialis lainnya. Perang yang bermula di Eropa ini kemudian lantas menjalar ke Afrika, Asia, dan Amerika. Di tanah air, rezim kolonial Belanda terusir pada tahun 1942 oleh imperialis yang berwujud kekuatan fasis militeris dari negeri Jepang.
Fasis Jepang masuk di Indonesia dan melarang semua kagiatan politik serta membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa serta partai politik yang ada. Perguruan tinggi juga banyak yang ditutup. Tidak ada organisasi maupun yayasan pendidikan yang boleh berdiri kecuali organisasi bentukan rezim fasis Jepang. Mahasiswa di tanah air yang hanya berjumlah 387 sampai 637 orang menghadapi represi tinggi dari rezim fasis yang ada. Sebagian kemudian tetap bergerilya di bawah tanah bergabung dengan front anti fasis yang juga menyebarkan selebaran-selebaran gelap dan sebagian berkegiatan dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi.
Pers Mahasiswa di Era Revolusi (1945-1949)
Dari tahun 1945-1948, Mahasiswa dan Pemuda terlibat secara fisik dalam usaha mempertahankan Republik Indonesia. Mahasiswa selain bergabung dalam organisasi pemuda perjuangan yang membela republik Indonesia seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai Wikana, Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang berdiri di Surabaya, mahasiswa juga menyatukan diri ke dalam milisi-milisi rakyat dan siap berperang serta mempropagandakan kemerdekaan Indonesia sekaligus.[8]
Meskipun keberadaan perguruan tinggi di Indonesia telah muncul pada tahun 1946 namun pertumbuhannya tidak paralel dengan pertumbuhan pers mahasiswa secara khusus. Hal ini salah satunya disebabkan karena perguruan tinggi-perguruan tinggi yang diresmikan pada tahun 1949 didirikan oleh rezim pendudukan Belanda yang hendak mencaplok Indonesia kembali sebagai tanah jajahannya. Selain itu, seperti yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, pemuda-mahasiswa bersama rakyat juga menghadapi gempuran militer dan sedikitnya dua agresi militer dari pihak Belanda.
Pers Mahasiswa di Rezim Demokrasi Liberal (1950-1962)
Barulah pada dekade 1950an dimana kemerdekaan Indonesia diterima secara luas oleh pihak internasional dan pemerintahan Indonesia cukup stabil kedaulatannya, maka berdirilah (atau dinasionalisasi) pula perguruan tinggi-perguruan tinggi milik RI yang akan mendorong tumbuhnya kembali organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk Persma. Sehingga pada kelanjutannya tidak hanya berdiri berbagai organisasi Persma namun juga muncullah berbagai macam konsolidasi antar berbagai organisasi Persma yang berdomisili dibawah kampus ataupun fakultas tersebut.
Agus Gussan Nusantoro, seorang mantan aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sempat mencatat perkembangan tersebut dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia. Dekade 1950an yang juga terkenal sebagai era demokrasi liberal tersebut menandai kemunculan suatu organisasi yang menghimpunan pers dan jurnalis mahasiswa. Tepatnya pada konferensi I bagi Pers Mahasiwa Indonesia, diprakarsailah organisas-organisasi tersebut. Sehingga didirikanlah Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan diketuai T Yacob danSerikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan diketuai Nugroho Notosusanto. Lebih lanjut Agus menuturkan bahwa Persma sempat berpartisipasi mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia. Dimana di acara internasional tersebut partisipannya meliputi delegasi dari Australia, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Pakistan, dan Filipina. Selain itu sempat diadakan pula kerjasama dengan Pusat Informasi Mahasiswa Jepang atau Student Information of Japan serta Serikat Editor Kampus Filipina atau College Editors Guild of the Philipphines dalam suatu bentuk perjanjian segi tiga.[9]
Masih menurut Agus, selanjutnya pada 16-19 Juli 1958 dilaksanakan Konferensi Pers Mahasiswa II yang menghasilkan peleburan IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Hal ini disebabkan bahwa peserta konferensi memandang bahwa perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan sehingga lebih baik disatukan.[10]
Pers Mahasiswa di Rezim Demokrasi Terpimpin (1962-1965)
Zaman demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin selain diwarnai dengan semangat nasionalisme, anti imperialisme, juga diwarnai persaingan ideologis dan antar faksi mulai dari tingkat atas di pemerintahan sampai di kampus. Dalam sistem politik terpimpin ini, pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap kehidupan Pers. Bagi media Pers yang tidak mencantuman MANIPOL USDEK dalam dasar organisasinya akan mengalami pemberangusan.
Persma sendiri yang begitu banyak dan beraneka ragam terjebak situasi. Di satu sisi ada dinamika penentangan terhadap imperialisme global, di satu sisi ada krisis ekonomi, di satu sisi ada persaingan ideologis, di sisi lain ada pemberontakan dimana-mana, di sisi lain Soekarno dan elit politiknya hidup dengan mewah, sementara di sisi lain mayoritas rakyat Jakarta tinggal di pemukiman miskin dan kumuh. Kebingungan ini bertambah parah setelah pemberlakuan peraturan Presiden Soekarno tentang MANIPOL USDEK. Dimana IPMI sebagai lembaga yang Independen mengalami krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI sendiri terdapat kalangan yang menginginkan tetap independen, menyuarakan aspirasi rakyat dan ada yang mengarah ke pola partisan (memihak parpol/kelompok tertentu).
Tarik menarik pendapat untuk penentuan sikap IPMI ini sedikit banyak menyerupai polemik yang terjadi di organisasi mahasiswa lain yang berlangsung sejak lama. Dengan kata lain tidak murni perbedaan pendapat namun sudah merupakan refleksi tarik menarik antara kepentingan kelompok kiri dan kelompok kanan. Kelompok kiri di kalangan mahasiswa secara dominan diwakili oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Sedangkan posisi kanan direpresentasikan secara dominan oleh kelompok Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Kelompok kiri kerap mengangkat wacana tentang penentangan terhadap kapitalisme, neokolonialisme-imperialisme, feodalisme, dan fasisme, serta mengusung cita-cita masyarakat sosialisme Indonesia (sebuah posisi yang sejalan dengan haluan politik pemerintah saat itu). Sedangkan kelompok kanan di sisi lain memandang hal tersebut sebagai bahaya komunisme, disertai anggapan dan cap atheisme/kafir dan bersifat kediktatoran. Hal ini bukan saja dipengaruhi oleh kondisi nasional namun juga internasional dimana dunia tengah berada dalam perang dingin dan persaingan antara blok barat dan blok timur.
Pertentangan ini kemudian berpuncak dan mengguncang rezim Demokrasi Terpimpin dengan meletusnya peristiwa G30S. Semua surat kabar dilarang terbit kecuali Berita Yudha milik Angkatan Darat. Peristiwa G30S dan propaganda Angkatan Darat di bawah Klik Soeharto kemudian berhasil menyeret IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia untuk terlibat kampanye secara penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Mahasiswa (termasuk aktivis Pers Mahasiswa), Militer dan Teknokrat).
Kelompok mahasiswa khususnya dari kalangan sayap kanan kemudian diorganisir oleh Mayjen Dr. Syarief Thayeb selaku wakil militer yang menjabat Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP). Elemen yang pertama kali dikumpulkan mayoritas adalah organisasi-organisasi ekstra kampus yang pada masa demokrasi terpimpin bersebrangan sikap dengan konsepsi Nasakom dan Demokrasi Terpimpin serta berbasis keagamaan. Mereka antara lain terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Mereka disusul dengan organisasi mahasiswa lainnya yaitu Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL)[11], Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Secara internal langkah politis ini diresmikan pada Musyawarah Kerja Nasional dan Simposium IPMI se-Indonesia pada 25 hingga 30 September 1966 dengan bertempat di kota Bandung. Jadi secara organisasional, keputusan dibuat terlebih dahulu antara pimpinan-pimpinan IPMI dengan Angkatan Darat (AD) dan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya baru konsolidasi internal dijalankan untuk menjelaskan langkah politik tersebut. Secara lebih detil, langkah politik itu adalah menempatkan IPMI di bawah KAMI sebagai biro penerangan. Sebagai imbalan atas tindakan ini, IPMI, dan anggotanya, diakui Departemen Penerangan RI sejajar dengan organisasi pers lainnya.
Maka dengan keistimewaan tersebut (dan sebagai bagian dari KAMI), IPMI menerbitkan produk yang secara khusus menentang demokrasi terpimpin. Dengan koordinasi tingkat nasional dan anggota-anggota tersebar di berbagai daerah, satu persatu muncullah terbitan mahasiswa di berbagai kota dan kampus yang berbeda-beda. Baik terbitan KAMI secara resmi maupun terbitan lokal dari anggota-anggotanya. Mulai dari terbitan mingguan Mahasiswa Indonesia danHarian KAMI di Jakarta pada 1965. Disusul dengan Mahasiswa Indonesia edisi Bandung dan mingguan Mimbar Demokrasi yang terbit 30 September 1966. Mahasiswa Indonesia edisi Yogyakarta dan Muhibbah Universitas Islam Indonesia (UII) terbit tahun 1967. Tahun berikutnya terbit Mimbar Mahasiswa di Banjarmasin dan Mingguan KAMIdi Kalimantan Barat. Masih di tahun 1968, Mingguan KAMI edisi Jawa Timur diluncurkan di Surabaya dan Gelora Mahasiswa Indonesia di Malang.
Semua terbitan yang berbeda-beda itu, baik yang merupakan produk dari KAMI maupun terbitan lokal dan provinsial berada dalam satu haluan suara:anti demokrasi terpimpin. Prinsip anti Soekarno, anti Nasakom, dan anti komunisme. Sedangkan di sisi lain terkait pembantaian terhadap orang yang dituduh sebagai komunis nyaris tidak diangkat sama sekali baik oleh aktivis pers mahasiswa maupun aktivis mahasiswa pada umumnya yang kelak dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai angkatan 66 ini.
Pers Mahasiswa di Rezim Orde Baru (1966-1998)
Kesalahan politik dari organisasi-organisasi mahasiswa anti demokrasi terpimpin harus dibayar mahal. Kebebasan akademik dan kebebasan berorganisasi dibawah rezim yang baru selanjutnya kembali diberangus. Taring Orba ini mulai ditunjukkan saat menghadapi dua momentum pergerakan mahasiswa yaitu gerakan Golongan Putih (Golput) tahun 1971 untuk menentang kecurangan Golkar, gerakan protes tahun 1972 terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggusur pemukiman rakyat miskin, gerakan menolak kenaikan harga beras pada tahun 1973, dan memuncak pada tahun 1974 dimana melutus peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) dimana demonstrasi memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, berujung pada kerusuhan massal dan penangkapan mahasiswa.
Media massa baik umum maupun media Persma juga terkena dampak negatif dari peristiwa Malari ini. Pada hari pertama meletusnya Malari dilakukanlah pembredelan terhadap Nusantara dan Mahasiswa Indonesia. Kemudian pada 21 Januari 1974 Harian KAMI dibredel bersama dengan Indonesia Raya, Abadi, dan The Jakarta Times. Dua hari kemudian tepatnya pada23 Januari 1974 giliran Pedoman dan Ekspress yang dibredel. Pembredelan itu dilakukan dengan pencabutan Surat Ijin Terbit dengan dalih karena media yang bersangkutan terus melakukan provokasi-provokasi yang mengganggu ketertiban dan keamanan.[12]
Sejak saat itu rezim fasis Orde Baru mulai menjalankan kekangan berorganisasi terhadap Persma yang secara garis besar dilakukan dalam tiga macam tindakan. Pertama, rezim membentuk organisasi tandingan yaitu Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKPMI). Kedua, organisasi-organisasi mahasiswa bertingkat nasional kemudian juga dipaksa disubordinatkan ke bawah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)[13], termasuk juga IPMI. Ketiga, setiap produk Persma harus memiliki izin terbit untuk diakui legalitasnya.[14]
Momentum pergerakan memasuki tahapan baru pada sekitar awal tahun 1978 dimana Dewan Mahasiswa ITB menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai “kritik Indonesia sistematis pertama terhadap kebijakan Rezim Orde Baru” Buku ini mencerca pemerintah karena korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang memfasilitasi kepentingan memperkaya diri sendiri dengan biaya kesejahteraan sosial, represi terhadap suara politik independen dan kehilangan hubungan dengan rakyat. Spanduk yang dibentangkan mahasiswa di ITB bertuliskan, “tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali menjadi presiden.”. Menjelang pertemuan parlemen untuk untuk pemilihan presiden tahun 1978, pemimpin Dewan Mahasiswa (Dema) di Universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, dan Medan mengeluarkan pernyataan bersama menuntut secara tegas penggantian Soeharto, orientasi ulang sistem ekonomi dan politik, dan penegakan negara hukum. Mahasiswa juga mengkritik aliansi dekat antara Golkar dan Tentara. Akibatnya Rezim Orba merepresi dengan kekuatan militer dan memenjarakan pimpinannnya selama bertahun-tahun. ITB bahkan sempat dikepung panser dan di UGM mahasiswa dikejar sampai kampus. Gerakan mahasiswa yang berfokus di kampus masing-masing itu kemudian habis ditumpas.[15]
Kekosongan gerakan mahasiswa kemudian diisi dengan marak berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada 1983 yang mana sebagian besar penggeraknya merupakan mantan aktivis mahasiswa. LSM ini kemudian tumbuh subur karena diuntungkan baik gerakan mereka tidak dianggap membahayakan maupun karena gerakan LSM ini mendapat kucuran dana dari luar sehingga para penggeraknya sedikit banyak berada dalam posisi cukup mapan. Sedangkan disisi lain di dekade 1980an yang sama juga kembali muncul kelompok-kelompok studi. Meskipun kelompok studi ini berhasil mengadakan pembedahan terhadap permasalahan masyarakat Indonesia namun kontribusi konkretnya sangat kurang. Terbukti baik kelompok studi maupun LSM tidak mengambil sikap yang jelas ketika muncul tragedi Tanjung Priok.[16]
Kondisi kontraproduktif di dekade 1980an itu sempat dipecahkan dengan aksi massa yang dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa Ujung Pandang. Tindakan turun ke jalan pada tahun 1987 itu dilakukan dalam rangka memprotes rezim Orba terkait peraturan lalu lintas, judi, dan keterpurukan ekonomi.[17] Meskipun aksi ini direpresi dengan brutal sehingga menyebabkan banyaknya korban berjatuhan, namun disisi lain berhasil mengobarkan kembali perjuangan mahasiswa termasuk mendorong perjuangan pers mahasiswa yang ditandai dengan semakin banyaknya penerbitan ilegal, penyebaran terbitan persma secara meluas dengan diam-diam, bahkan pendiskusian media-media mahasiswa tersebut dalam kelompok-kelompok diskusi rahasia dari kalangan mahasiswa.
Sedangkan disisi lain, secara legal, aktivitas-aktivitas penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik di tahun mulai marak diadakan hingga tahun 1989 oleh beberapa perguruan tinggi dalam rangka menghidupkan kembali dinamika intelektual kampus. Dari sekian forum-forum pelatihan jurnalistik mahasiswa tersebut, tersirat tentang sebuah keinginan akan sebuah wadah bagi tempat berdiskusi (tukar-menukar pengalaman) para pegiata pers mahasiswa dalam rangka untuk meningkatan mutu penerbitan mahasiswa sendiri ataupun untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa. Maka mulai tahun 1986, forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul dan mewarnai berbaai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa sehingga berpuncak pada didirikannya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 15 Oktober 1992.[18]
Pasca pendirian PPMI, pembredelan terhadap Persma kian sering dilancarkan. Media Persma yang terkena pembrangusan ini antara lain: Vokal IKIP PGRI Semarang yang dibreidel pada 1992, Dialoque FISIP Unair Surabaya dan Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Focus Equilibrium FE Universitas Udayana Bali yang mana ketiganya dibreidel pada tahun 1993. Arena sendiri dibredel karena memuat artikel tentang bisnis Keluarga Cendana. Setahun kemudian pembreidelan menimpa Pers umum yaitu Tempo, Detik, dan Editor yang diberangus pada 21 Juni 1994.[19]
Tiga tahun kemudian pembredelen kembali terjadi terhadap majalah Paradigma, sebuah majalah yang didirikan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta yang tidak sepakat dengan control oleh universitas dan pemerintah. Akhirnya pada 25 September 1997, mereka didatangi sebuah tim beranggotakan 12 pejabat pemerintahan yang terdiri dari perwakilan Korem, kejaksaan, direktorat sosial dan politik Kementrian dalam negeri dan Kementrian Penerangan. Mereka meminta copy dari tiga terbitan terakhir Paradigma untuk memeriksa apakah ada yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Selain itu MUHIBAH, pers mahasiswa Universitas Islam Indonesia UII, Balairung (UGM), Arena (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Hayam Wuruk (Fak. Sastra Undip Semarang) kerap ditekan birokrat kampus dan terancam berhenti terbit. Balairung disensor pada 1993 karena menyeru interpretasi terbuka atas Pancasila serta disensor pada 1995 karena mengkritik Dwi Fungsi ABRI. Sintesa, FISIP dibreidel karena pada 1992 memuat artikel yang menyatakan 70% mahasiswa percaya bahwa konstitusi Indonesia harus diganti.[20]
Pasca peristiwa 27 Juli, gerakan mengalami kekosongan sesaat. Beberapa aktivis pers di UGM berusaha memecah kebekuan dan menghidupkan kembali perlawanan. Muncul momentum saat penggrebekan terhadap majalah Suara Independen, media alternatif bawah tanah dari jurnalis-jurnalis yang tergabung di AJI. Mahasiswa yang tergabung dalam lembaga pers Majalah Administrator, Majalah Pijar (Filsafat UGM), dan Dian Budaya (sastra UGM) membentuk Komite Anti Penindasan Pers. Komite ini mengadakan aksi pada 7 November 1996 sebagai protes atas penggrebekan aparat ke majalah Suara Independen. Ketika aksi baru dibuka, puluhan intel langsung menyerbu, memukuli, membubarkan dan memburu peserta aksi. Rektor UGM, Soekanto, berteriak-teriak dari Gdg. Rektorat menyuruh melakukan penangkapan. [21]
Aksi-aksi solidaritas kemudian muncul dan selalu diiringi dengan pemburuan dan penangkapan mahasiswa. Pada 29 Januari 1997 aparat militer semakin gencar menangkapi mahasiswa, hari itu jumlah mahasiswa yang ditangkap sebanyak 24 orang. Badan Pengembangan Pers Mahasiswa (BPPM) UGM kemudian menyerukan pada 30 Januari agar mahasiswa yang ditangkap segera dibebaskan. Gerakan-gerakan mahasiswa kemudian semakin meningkat dan berpuncak pada tahun 1998 dengan mengecam praktek Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) serta menuntut dilaksanakannya reformasi terhadap Orde Baru. Gerakan mahasiswa waktu itu dikenal dengan tiga tuntutannya yaitu:1)Bubarkan Golkar, 2)Adili Soeharto, 3)Sita harta koruptor. Pergerakan ini menemui represi yang luar biasa besar, baik berupa penangkapan, penculikan, penembakan, dan kerusuhan, yang terwujud mulai dari Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , maupun Tragedi Lampung[22].Selanjutnya pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya yang menandai berakhirnya kekuasaannya sebagai pimpinan tertinggi dari rezim fasis Orde Baru selama 32 tahun lamanya.
[1] Lihat Manifesto 1925:Prolog dari Belanda. Halaman 26-28. Artikel majalah Tempo edisi khusus 80 tahun Sumpah Pemuda. Edisi 27 Oktober-2 November 2008
[2] 1910-1940: New Nationalism, An Online Timeline of Indonesian History, http:://www.gimonca.com/sejara/sejarah07.html
[3] 1928, Gerakan Mahasiswa di Indonesia, http:://id.wikipedia.org/gerakan_mahasiswa_di_indonesia.html
[4] Farid, Nur, Gerakan Mahasiswa Indonesia, tanpa penerbit.
[5] Purwanto, Lukito, Sumpah Pemuda dan Persatuan-Persatuan Pergerakan Menuju Indonesia Merdeka, Malang: LPM Mimesis, 2008.
[6] Farid, Nur, Gerakan Mahasiswa Indonesia, tanpa penerbit
[7] Sedjarah Nasional, dokumen sejarah perjuangan dan pergerakan Indonesia pra-Orde Baru, tanpa penerbit, tanpa tahun
[8] Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia, Resistbook
[9] Nusantoro, Agus Gussan, Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia
[10] Ibid
[11] SOMAL sendiri menurut Nur Farid, seorang aktivis lulusan Fakultas Hukum dan mantan direktur Yayasan Cakrawala Timur-Surabaya, merupakan organisasi bentukan Gemsos dan HMI ketika PSI dan Masjumi mulai dilarang terkait keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. “Dalam tahun 1961 organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isue/peristiwa politik, dan orang akan dapat membaca, dalam pernyataan SOMAL ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan senat-senat mahasiswa yang tergabung dalam Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI).”
[12] Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia, Resistbook
[13] Salah satu orang yang gencar mengampanyekan KNPI adalah Akbar Tanjung, mantan aktivis 66 yang kemudian duduk di lingkaran kekuasaan sebagai anggota Golkar
[14] Litbang Nasional PPMI 2008-2010, Catatan-Catatan yang Belum Selesai, Yogyakarta:Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Mei 2010.
[15] Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia, Resistbook
[16] Gerakan Mahasiswa Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Jawa Tengah: Januari 2009.
[17] Ibid
[18] Dokumen PPMI, tanpa tanggal, tak diterbitkan
[19] Magriby, Prayudha, Pers Mahasiswa Dekade 1990-an – Berani atau Dibredel!, 2011,http://www.gosrok.blogspot.com
[20] Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia, Resistbook
[21] Ibid
[22] 1998, Gerakan Mahasiswa di Indonesia, http:://id.wikipedia.org/gerakan_mahasiswa_di_indonesia.html
(sumber bumi rakyat)
(sumber bumi rakyat)